*oleh Hariyanto jurusan Ekonomi Pembangunan FE UNS
PENDAHULUAN
Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih
dahulu harus dipahami peran dan tugas manusia di dunia. Sesuai dengan
firman Allah SWT dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56, yang artinya:
“Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar mereka
beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.
Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini
adalah semata-mata ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Dan sebagai abdi Allah SWT maka manusia dalam semua tindakannya harus
mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Semua tindakan
tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha.
Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga
diangkat oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Dan dalam surat Al A’raf ayat 128:
“Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.”
Islam adalah agama yang paling banyak mendorong
umatnya untuk menguasai perdagangan. Karena itu, Islam memberikan
penghormatan yang tinggi kepada para pedagang. Dalam Sebuah hadits, Nabi
Muhammad Saw, menempatkan dan mensejajarkan para pedagang bersama para
Nabi, Syuhada dan Sholihin (Hadits riwayat Tarmizi). Menurut Ibnu
Khaldun, bidang ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
membangun peradaban Islam.
Namun, masalah perdagangan (bisnis) kurang mendapat
tempat dalam gerakan peradaban Islam. Padahal sektor ini sangat penting
untuk diaktualisasikan kaum muslimin menuju kejayaan Islam di masa
depan. Tema perdagangan ini perlu diangkat ke permukaan mengingat
kondisi obyektif kaum muslimin di berbagai belahan dunia sangat
tertinggal di bidang perdagangan.
Dalam berbagai hadits Nabi Muhammad Saw sering
menekankan pentingnya perdagangan. Di antaranya riwayat dari Mu’adz bin
Jabal, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan
(H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani). Hadits ini dengan
tegas menyebutkan bahwa profesi terbaik menurut Nabi Muhammad adalah
perdagangan.
Namun sangat disayangkan, kaum muslimin tidak
merealisasikan hadits ini dalam realitas kehidupan dan membiarkan
perdagangan dikuasai orang lain, akibatnya ekonomi umat Islam kalah jauh
apabila dibandingkan dengan ekonomi bangsa-bangsa yang lainnya. Keadaan
seperti ini juga pernah terjadi di masa Umar bin Khattab, yaitu ketika
para sahabat mendapat harta ghanimah yang melimpah melalui ekspansi
wilayah Islam ke Persia, Palestina dan negara-negara tetangga, karena
itu para pejabat dan panglima tentera Islam mulai meninggalkan
perdagangan. Umar mengingatkan mereka, “Saya lihat orang asing mulai
banyak menguasai perdagangan, sementara kalian mulai meninggalkannya
(karena telah menjadi pejabat di daerah dan mendapat harta ghanimah),
Jangan kalian tinggalkan perdagangan, nanti laki-laki kamu tergantung
dengan laki-laki mereka dan wanita kamu tergantung dengan wanita
mereka”.
Dari pernyataan Umar di atas, dapat dijelaskan bahwa
jika perdagangan dikuasai umat lain (bangsa lain), dikhawatirkan umat
Islam akan tergantung kepada bangsa tersebut. Apa yang dikhawatirkan
Umar tersebut, kini telah terjadi di negara-negara Muslim, termasuk di
Indonesia, dimana umat Islam sangat tergantung pada bangsa-bangsa lain,
bahkan ketergantungan itu merasuk kepada kebijakan ekonomi dan politik
negara muslim, merasuk ke aspek budaya, ilmu pengetahuan, bahkan
mengganggu aqidah dan akhlak umat Islam.
Betapa pentingnya umat Islam dalam menguasai
perdagangan, sehingga Nabi Muhammad Saw mewajibkan umat Islam untuk
menguasai perdagangan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw
mengatakan, “Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).
PEMBAHASAN
A. Perdagangan dalam Al-quran
Perdagangan secara umum berarti kegiatan jual beli
barang dan/atau jasa yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan
pengalihan hak atas barang dan/atau jasa dengan disertai imbalan atau
kompensasi (SK MENPERINDAG No. 23/MPP/Kep/1/1998).
Dalam Al-quran, perdagangan dijelaskan dalam tiga bentuk, yaitu tijarah (perdagangan), bay’ (menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah tersebut masih banyak lagi istilah-istilah lain yang berkaitan dengan perdagangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan perdagangan global (QS. Al-Jum’ah : 9).
Kata tijarah adalah mashdar dari kata kerja yang berarti menjual dan membeli. Kata tijarah
ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh
surat, yaitu surat Al-Baqarah :16 dan 282, An-Nisaa’ : 29, At-Taubah :
24, An-Nur :37, Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Pada surat
Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surat lainnya hanya disebut
masing-masing satu kali.
Sedangkan kata ba’a (menjual) disebut
sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu Surat Al-Baqarah :254 dan 275,
Surat Ibrahim :31 dan Surat Al-Jum’ah :9.
Selanjutnya istilah lain dari perdagangan yang juga terdapat dalam Al-quran adalah As-Syira.
Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di antaranya berkonotasi
perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya (surat Yusuf ayat 21
dan 22), yang menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf yang dijual oleh
orang yang menemukannya.
Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman, ”
Apabila shalat sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan
carilah karunia Allah serta banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian
menjadi orang yang beruntung..
Apabila ayat ini kita perhatikan secara seksama, ada dua hal penting yang harus kita cermati, yaitu fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan wabtaghu min fadl Allah (carilah rezeki Allah).
Makna fantasyiruu adalah perintah Allah agar
umat Islam segera bertebaran di muka bumi untuk melakukan aktivitas
bisnis setelah shalat fardlu selesai ditunaikan. Allah SWT tidak
membatasi manusia dalam berusaha, hanya di kampung, kecamatan,
kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja. Allah memerintahkan kita untuk
go global atau fi al-ard. Ini artinya kita harus menembus seluruh penjuru dunia.
Ketika perintah bertebaran ke pasar global bersatu
dengan perintah berdagang, maka menjadi keharusan bagi kita membawa
barang, jasa dan komoditas ekspor lainnya serta bersaing dengan
pemain-pemain global lainnya. Menurut kaidah marketing yang sangat sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum memiliki daya saing di 4 P: Products, Price, Promotion, dan Placement atau delivery.
Dalam Surat Al-Quraisy Allah melukiskan satu contoh
dari kaum Quraisy yang telah mampu menjadi pemain global dengan segala
keterbatasan sumber daya alam di negeri mereka. Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu) kebiasaan melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim panas.”
Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn
Katsir, Zamakhsyari, maupun kontemporer seperti, al-Maraghi,
az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat bahwa perjalanan dagang musim
dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria, Yunani, dan
sebagian Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke
selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina
dan India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.
B. Karakteristik Perdagangan Syari’ah
Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai
perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari kejujuran, kepercayaan dan
ketulusan. Dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan
standar benar-benar harus diperhatikan. Seperti yang telah dijelaskan
dalam surat Al Muthoffifin ayat 2-7 :
“Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang,
yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi.tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika
manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam? Sekali-kali jangan curang,
karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka,tersimpan dalam Sijjin.”
Selain itu, Islam tidak hanya menekankan agar
memberikan timbangan dan ukuran yang penuh, tetapi juga dalam
menimbulkan itikad baik dalam transaksi bisnis. Hasil beberapa
pengamatan yang dilakukan menjelaskan bahwa hubungan buruk yang timbul
dalam bisnis dikarenakan kedua belah pihak yang tidak dapat menentukan
kejelasan secara tertulis syarat bisnis mereka. Untuk membina hubungan
baik dalam berbisnis, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis
dengan menyantumkan syarat-syaratnya, karena “yang demikian itu lebih
adil di sisi Alloh, dan lebih menguatkan persaksian, dan lebih dapat
mencegah timbulnya keragu-raguan.” (Al Baqoroh : 282-283)
Disamping itu, ada beberapa hal yang terkait dengan perdagangan syariah, yaitu :
-
Penjual berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen, sehingga konsumen akan merasa telah berbelanja sesuai syariah Islam, dimana konsumen tidak membeli barang sesuai keinginan tetapi menurut kebutuhan.
-
Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas barang yang dijual sesuai dengan harganya, dan pembeli tidak dirangsang untuk membeli barang sebanyak-banyaknya.
-
Hal yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme pasar, namun status kehalalan barang yang dijual adalah lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah, konsumen yang sebagian besar masyarakat awam akan merasa terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja yang mengandung unsur haram yang terkandung di dalamnya. Barang-barang yang dijual dengan perdagangan syariah juga diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum diantaranya bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan sebagian lagi memiliki label halal.
-
Sesungguhnya barang dan komoditi yang dijual haruslah berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar dan harga yang berlaku.
C. Perdagangan Yang Dilarang
-
Talqi – Jalab
Talqi-jalab adalah suatu kegiatan yang umum dilakukan
oleh orang-orang Madinah, yaitu manakala para petani membawa hasil ke
kota, lalu menjualnya kepada orang-orang di kota kemudian orang kota
tersebut menjual hasil panen tersebut, dengan harga yang mereka tetapkan
sendiri. Rosululloh tidak menyukai cara perdagangan seperti ini, karena
beliau menganggap perbuatan tersebut mencurangi seseorang.
-
Perdagangan melalui Al-Hadir-Libad
Ada beberapa orang bekerja sebagai agen-agen
penjualan hasil panen dan semua hasil panen dijual melalui mereka.
Mereka memperoleh keuntungan baik dari penjual maupun dari pembeli dan
seringkali mencabut keuntungan sebenarnya yang harus diterima petani dan
kepada para pembeli tidak diberi harga yang benar dan wajar. Rosululloh
melarang bentuk perdagangan dengan menarik keuntungan dari penjual dan
pembeli.
-
Perdagangan dengan cara Munabazah
Dalam perdagangan secara munabazah, seseorang
menjajakan pakaian yang dia miliki untuk dijual kepada orang lain dan
penjualan tersebut menjadi sah, meskipun orang tersebut tidak memegang
atau melihat barang tersebut. Berarti bahwa penjual langsung melemparkan
barang kepada pembeli dan penjualan itu sah. Pembeli tidak ada
kesempatan untuk memeriksa pakaian tersebut atau harganya. Ada
kemungkinan penipuan atau kecurangan atau penggmbaran yang keliru dalam
bentuk perdagangan seperti ini, sehingga Rosululloh melarang perdagangan
dengan cara munabazah.
-
Perdagangan dengan cara Mulamasah
Dalam perdangangan secara mulamasah, seseorang
menjual sebuah pakaian dengan boleh memegang tapi tanpa perlu membuka
atau memeriksanya. Hal ini juga dilarang Rosululloh karena keburukannya
sama seperti munabazah.
-
Perdagangan dengan cara Habal-Al-Habala
Bentuk perdagangan ini sangat umum di negara Arab
pada waktu itu. Dalam perdagangan ini, seseorang menjual seekor unta
betina dengan berjanji membayar apabila unta itu melahirkan seekor anak
unta jantan atau betina. Cara perdagangan seperti inipun dilarang oleh
Rosululloh karena mengandung unsur perkiraan atau spekulasi.
-
Perdagangan dengan cara Al-Hasat
Dalam bentuk perdagangan seperti ini, penjual akan
menyampaikan kepada pembeli bahwa apabila pembeli melemparkan
pecahan-pecahan batu kepada penjual, maka penjualan akan dianggap sah.
Cara seperti ini juga diharamkan oleh Rosululloh karena sama buruknya
dengan perdagangan secara munabazah dan mulamasah.
-
Perdagangan dengan cara muzabanah
Dalam bentuk perdagangan ini, buah-buahan ketika
masih di atas pohon sudah ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk
memeperoleh kurma dan anggur kering, atas sederhananya menjual
buah-buahan segar untuk memperoleh buah-buahan kering. Rosululloh
melarang cara seperti ini karena didasari atas perkiraan dan dapat
merugikan satu pihak jika perkiraan ternyata salah
-
Perdagangan dengan cara Muhaqolah
Dalam sistem muhaqolah ini, panen yang belum dituai
dijual untuk memperoleh hasil panen yang kering. Rosululloh melarang
cara perdagangan seperti ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah
Ibn Umar, Abu Said al Khudri dan Said Ibn Mussayyib. Bentuk ini sama
dengan bentuk muzabanah dengan semua kemudharatannya.
-
Perdagangan tanpa hak pemilikian
Perdagangan barang-barang khususnya yang tidak tahan
lama, tanpa perolehan hak milik juga dilarang oleh Rosululloh karena
mengandung unsur keraguan dan penipuan. Diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa
Rosululloh bersabda: “Siapapun yang membeli gandum tidak berhak
menjualnya sebelum memperoleh hak miliknya.”
-
Perdagangan dengan cara Sarf
Perdagangan dengan cara sarf berarti menggunakan
transaksi di mana emas dan perak dipakai sebagai alat tukar untuk
memperoleh emas dan perak. Rosululloh bersabda bahwa pertukaran emas
dengan emas merupakan riba kecuali dari tangan ke tangan, kurma dengan
kurma adalah riba kecuali dari tangan ke tangan, dan garam dengan garam
adalah riba kecuali dari tangan ke tangan.
-
Perdagangan dengan cara Al-Ghoror
Perdagangan yang dilakukan dengan cara melakukan penipuan terhadap pihak lan.
-
-
Misrot
-
Misrot adalah hewan yang mempunyai susu, tapi susunya
tidak diperas. Kebanyakan orang apabila berkeinginan menjual binatang
ini terlebih dahulu diperah selama beberapa hari untuk menipu pembeli.
Ini adalah salah satu cara dimana pembeli binatang merasa ditipu dan
diminta untuk membayar dengan harga yang lebih mahal
-
-
Najsh
-
Sederhananya, najsh itu bermakna terjadinya sesuatu
kenaikan harga karena seseorang telah mendengar bahwa harga barang
tersebut telah naik, lalu membelinya tetapi tidak karena ingin
membelinya melainkan karena ingin menjualnya kembali dengan menetapkan
harga yang lebih tinggi, atau berminat terhadap barang yang dijual
dengan tujuan untuk menipu orang lain.
-
-
Penjualan dengan sumpah
-
Penjual menjual barangnya (dalam harga tinggi) dengan melakukan sumpah tentang tingginya kualitas barang tersebut.
-
-
Pemalsuan
-
Rosululloh melarang pemalsuan barang-barang yang akan dijual sebagaiman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
-
Perdagangan dengan cara menyembunyikan
Cara seperti ini yaitu menyembunyikan gandum dan barang-barang lainnya untuk menaikkan harga dengan sengaja.
-
Monopoli
Monopoli akan muncul manakala pusat kontrol pasokan (supply)
barang atau jasa dipegang oleh satu orang atau sekelompok orang.dia
yang mengontrol pasokan barang atau jasa dan menetapkan harga yang
menguntungkan baginya, tetapi keuntungannya tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
D. Keadaan Perdagangan Saat Ini
Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang
dilukiskan Al-Qur’an saat ini mungkin terdapat pada Singapura atau
Hongkong, negeri yang miskin sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan
dan mengontrol alur ekspor di regional Asia Tenggara dan Pasifik.
Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah satu provinsinya (Riau) 50
kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya alam yang ribuan
kali lipat. Mungkin kita harus becermin pada Al-Qur’an yang selama ini
kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi.
Meskipun Al-Qur’an cukup banyak membicarakan
perdagangan bahkan dengan tegas memerintahkannya, dan meskipun
negeri-negeri muslim memiliki kekayaan alam yang besar, namun ekonomi
umat Islam jauh tertinggal dibanding negara-negara non Muslim. Banyak
faktor yang membuat umat Islam tertinggal dari bangsa lain, antara lain,
lemahnya kerjasama perdagangan sesama negeri muslim. Menurut catatan
OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku “Menuju tata baru Ekonomi
Islam, kegiatan perdagangan sesama negeri muslim hanya 12 % dari jumlah
perdagangan negara-negara Islam”.
Fenomena lemahnya kerja sama perdagangan itu terlihat pada data-data berikut :
-
Lebanon dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan Syiria mengimpor mentega dari Eropa Barat.
-
Aljazair mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya ke Magribi
-
Mesir adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi Aljazair, Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (impor) dari Eropa Barat.
-
Aljazair, Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece, India, Philipine dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah mengekspor utama tembakau ke Amerika dan Eropa.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa produk Indonesia
yang dibutuhkan negara muslim di Timur Tengah, harus melalui Singapura.
Kounsekuensinya yang mendapat keuntungan besar adalah Singapura, karena
ia membeli dengan harga murah dan menjual ke Timur Tengah dengan harga
mahal. Dan negara kita sering kali cukup puas dengan kemampuan ekspor
sekalipun mendapatkan keuntungan (margin) yang sedikit. Hal ini
menunjukkan kebodohan kita dalam perdagangann internasional. Hal ini
tentu tidak sesuai dengan Nabi Muhammad yang telah meneladankan sikap
fathanah (cerdas) dan komunikatif (tabligh) dalam perdagangan.
Dengan berbagai kelemahan dan fakta yang ada di atas,
maka diperlukan penerapan beberapa langkah ataupun strategi yang baik
dan sesuai/tidak jauh dari Al-Qur’an. Dalam melaksanakan
strategi-strategi tersebut, maka harus didasarkan pada konsep berusaha
yang sesuai syariat Islam. Konsep-konsep dasar dalam berusaha tersebut
antara lain :
-
Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib)
Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia
jadi bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja untuk hanya
mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik.
“Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah :168)
Oleh karena itu, dalam berusaha Islam mengharuskan
manusia untuk hanya mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari
segi materi, halal dari cara perolehannya, serta juga harus halal dalam
cara pemanfaatan atau penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan
mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi umat Islam acuannya sudah
jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW:
Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara
haram itupun jelas, dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang
syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena
itu, barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah terbebas
(dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya . . .. . .Ingat!
Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik,
maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh
tubuh, tidak lain ia adalah hati” (Hadits)
Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu
jelas. Dan bila masih diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat
dengan hati manusia itu sendiri, apabila hatinya jernih maka segala
yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya segala sesuatu yang
tidak halal termasuk yang syubhat tidak boleh menjadi obyek usaha dan
karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.
-
Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho karena saling memberi manfaat
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)
Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada orang yang
beriman agar bila ingin memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh
dengan jalan perniagaan (baik perniagaan barang atau jasa) yang berlaku
secara ridho sama ridho. Untuk penjelasannya dapat dikaji hadits
berikut ini:
Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara
Bani `Adiy Al Anshariy untuk memungut hasil Khaibar. Maka ia datang
dengan membawa kurma Janib (kurma yang paling bagus mutunya). Nabi
Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar demikian
ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan Allah.
Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai
bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu,
tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma
Khaibar) lalu belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma
Khaibar) tadi.
Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh
Rasulullah SAW adalah bahwa harga dalam setiap perniagaan harus
mengikuti penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar. Karena penilaian
yang dilakukan (oleh masyarakat) melalui mekanisme pasar akan memberikan
penilaian yang adil. Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar.
Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai. Dan
untuk memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar tersebut
diperlukan prasarana alat tukar nilai yang disebut sebagai uang.
-
Fungsi Uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai di dalam transaksi
Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi
sebagai alat tukar nilai. Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam,
Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.”
Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan)
melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan
cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek
(perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman
Rasulullah SAW uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan
mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang tertentu.
Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak menerbitkan
uang. Karena pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan uang
sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua
pasar yang terkait. Sehingga pemikir Islam lainnya, Ibnu Khaldun
menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya
uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi di
negara tersebut dan kemampuan untuk memperoleh neraca perdagangan yang
positif.”
Karena dalam syariah Islam uang adalah alat tukar
nilai, maka uang diperlukan untuk memperlancar perniagaan. Artinya peran
uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila
uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka masyarakat akan
merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan. Karena pada zaman
Rasulullah SAW uang dibuat dari emas dan perak, maka dalam surat At
Taubah ayat 34 dinyatakan:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih).”
-
Berlaku adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan menghindari resiko yang melebihi kemampuan
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada
pihak yang tidak disukai. Karena orang yang adil akan lebih dekat dengan
taqwa.
“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena
adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)
Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan
berbuat kebajikan, dimana berlaku adil harus didahulukan dari berbuat
kebajikan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An Nahl:90)
Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).
“..Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al An’am:152)
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7-9)
Berlaku adil akan dekat dengan taqwa, karena itu
berlaku tidak adil akan membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia.
Karena itu dalam perniagaan, Islam melarang untuk menipu bahkan
‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat menimbulkan keraguan yang
dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan Rasulullah SAW
adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala sesuatu
yang berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang
menipu.
Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah benar
maka janganlah sekali-kali kamu tertipu kehidupan dunia dan janganlah
sekali-kali tertipu tentang Allah (karena) seorang penipu (al gharuur). (Q.S. Al Faatir: 5)
“Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad)
Sebaliknya atas harta milik sendiri dilarang untuk
mengambil resiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk mengatasi
resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut mempunyai probabilita untuk
membawa manfaat, namun bila probabilitas untuk membawa kerugian lebih
besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka tindakan usaha
tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan
sehingga harus difikirkan dengan matang.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat
keduanya, Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan
(keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari keperluan, demikianlah
Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir.(Q.S. Al Baqarah:219)
-
Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati
Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai
khalifah di muka bumi, atas nama Allah SWT, dalam menjalankan usaha
Islam mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah disepakati.
Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara
ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)
“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila
kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu
sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai
saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)
-
Manusia harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan
Manusia memang ditakdirkan untuk diciptakan dengan
perbedaan, dimana sebagian diantaranya diberi kelebihan dibandingkan
sebagian yang lain, dengan tujuan agar manusia dapat bekerjasama untuk
mencapai hasil yang lebih baik.
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az Zukhruf :32)
Pakar ekonomi Islami, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
“Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh kebutuhan
hidupnya. Semua manusia harus bekerjasama untuk memperoleh kebutuhan
hidup dalam peradabannya.” Lebih lanjut Ibnu Khaldun juga menerangkan
akan hasil kerjasama yang sekarang kita sebut synergy, sebagai berikut:
“Hasil kerjasama sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali
lipat dari jumlah mereka sendiri.”
PENUTUP
Rasulullah merupakan sosok teladan yang patut kita
jadikan contoh, keberhasilan beliau dalam mengembangkan perekonomian
umat telah terbukti. Hanya dalam waktu setahun setelah hijrah ke
madinah, beliau berhasil membangun perekonomian yang sangat kuat. Hanya
dalam waktu setahun umat Islam berhasil menguasai ekonomi yang selama
ini dipegang oleh orang-orang Yahudi dan umat lainnya.
Rahasia kesuksesan tersebut adalah ternyata
Rasulullah memprioritaskan pasar. Yang pertama kali dilirik oleh
Rasulullah adalah pasar. Beliau membangun jalan dari masjid sampai ke
pelosok-pelosok desa, sehingga masyarakat mempunyai akses pemasaran.
Selain itu Nabi Muhammad telah mempraktekan usaha
perdagangan sejak berusia yang relatif muda, yaitu 12 tahun. Dan ketika
berusia 17 tahun ia telah memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar
negeri. Profesi inilah yang ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi
Rasul di usia yang ke 40. Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader
menyebutkan bahwa reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus,
sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordania, Iraq, Basrah
dan kota-kota perdagangan lainnya di jazirah Arab. Dalam konteks
profesinya sebagai pedagang inilah ia dijuluki gelaran mulia, Al-Amin
Afzalur Rahman juga mencatat dalam ekspedisi perdagangannya, bahwa
Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara ketika itu, sebuah aktivitas
perdagangan yang luar biasa.
Semangat inilah seharusnya yang dibangun dan
dikembangkan oleh kaum muslimin saat ini agar peradaban kaum muslimin
bisa bangkit kembali di jagad ini melalui kejayaan ekonomi dan
perdagangan.
Dengan mengambil contoh kisah diatas, umat Islam
perlu memperhatikan perekonomian. Dahulu umat Islam pernah berjaya di
bidang ekonomi, namun kini jauh tertinggal dibandingkan umat-umat yang
lain. Karena itu, umat Islam harus mengejar ketinggalan tersebut dengan
cara membangun ekonominya. Dan sektor perniagaanlah yang agaknya sesuai
untuk lebih diperhatikan dalam membangun perekonomian.
Negara-negara Islam memiliki 70% cadangan minyak
dunia dan menguasai 30% sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam juga
merupakan pemasok dan penyuplay 42% permintaan petrolium (minyak) dunia.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim memiliki
potrensi ekonomi yang cukup besar dan strategis.
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta. (Artikel)
Mannan, Abdul. 1995. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.
http://ditjenpdn.depdag.go.id/pls/portal30/url/folder/
http://fossei.4t.com/Artikel.htm
http://muhammadfendisyariah.blog.friendster.com/about/
http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_cara.php?idKategori=1